Meredupnya Wibawa Guru


Meredupnya Wibawa Guru

Oleh: Muhamad Mustaqim (Dosen STAIN)
Meredupnya Wibawa Guru
ilustrasi - inilah.com/Kenny
Ketika guru Kong Fu Tze diusir dari kerajaan, si murid dengan sukarela mengikuti sang guru, mengelana ke berbagai daerah.

Dan ketika kitab-kitab yang dibawa sang guru di kereta terjerembab di sungai es, maka si murid dengan serta-merta menceburkan diri ke sungai es tersebut, untuk mengambil kitab-kitab yang jatuh tenggelam, meskipun si murid ini akhirnya harus membayar mahal, dengan kehilangan nyawa.

Kisah tersebut adalah salah satu adegan dalam film yang berjudul ‘Confucius’ (2010), yang merupakan biografi dari tokoh besar Cina, Kong Fu Tze (Kong Hu Cu). Adegan tersebut menunjukkan betapa guru memiliki karisma yang luar biasa bagi murid-muridnya.

Penghargaan terhadap guru yang luar biasa ini tentunya dilatarbelakangi oleh dedikasi guru yang juga luar biasa kepada muridnya. Sehingga, ajaran Confucius hingga hari ini masih dianut mayoritas penduduk Cina.

Dalam tradisi Islam, penghargaan terhadap guru pun sangat tinggi. Saydiina Ali bin Abi Thalib dalam sebuah riwayat pernah mengatakan "Aku adalah hamba (budak) dari orang yang mengajariku satu huruf saja dari Alquran".

Bahkan dalam salah satu kitab klasik yang paling terkenal dalam pembelajaran ‘Ta'lim al-muta'alim’ dijelaskan bagaimana penghargaan terhadap guru merupakan salah satu kunci sukses dalam menuntut ilmu.

Namun kenyataan itu kiranya sudah mulai hilang saat ini. Guru sudah tidak lagi menjadi sosok ‘sakral’ yang harus dijunjung tinggi dan dihargai. Guru -meminjam falsafah Jawa- tak lagi digugu dan ditiru.

Distorsi Orientasi Pendidikan

Munculnya fenomena tersebut, menurut penulis dilatarbelakangi beberapa hal. Pertama, bergesernya orientasi pendidikan. Pendidikan kita tidak lagi berorientasi pada mendidik manusia untuk baik, tapi lebih mengajar manusia untuk cerdas. Dalam tataran yang lebih praktis, pendidikan lebih berorientasi untuk mendapatkan pekerjaan.

Sampai sini, peserta didik tak ubahnya seperti robot, sedangkan sekolah tidak beda dengan sebuah pabrik. Padahal pendidikan pada hakikatnya tidak hanya menjadikan manusia menjadi cerdas (kognitif) dan terampil (psikomotorik), namun juga mendidik menjadi baik (afektif).

Kedua, gejala pragmatisme guru. Saat ini, boleh jadi sangat sedikit guru yang ‘ikhlas’ dalam mengajar. Ikhlas di sini bukan hanya persoalan materi, namun lebih sebagai pengejawantahan niat beribadah atau orientasi moral-spiritual.

Mengajar adalah upaya aktualisasi diri, begitu jika meminjam bahasa Maslow. Munculnya kebijakan sertifikasi guru, menurut penulis semakin menandaskan gejala pragmatisme ini. Pada derajat tertentu, guru mengajar bukan lagi karena suara hati, namun lebih karena tuntutan profesi.

Ketiga, arus demokratisasi dan kebebasan yang sepi makna. Demokratisasi yang terjadi pasca-Reformasi membawa arus penguatan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi warga negara. Di satu sisi sangat positif. Namun di sisi lain mendorong setiap orang untuk berlindung di bawah isu HAM tersebut.

Kaitannya dengan pendidikan, terjadi depatronisasi terhadap guru. Artinya, guru di hadapan siswa tak lagi dipandang sebagai pribadi yang tinggi dan harus dihormati, namun lebih sebagai partner dalam pembelajaran.

Yang terjadi, pembelajaran dilakukan dengan setengah hati dan tidak maksimal. Padahal dalam pembelajaran ada metode reward and punishment, di mana hukuman adalah sesuatu yang sah dalam pembelajaran.

Meskipun ini bukan berarti membenarkan kekerasan yang dilakukan guru, namun bagaimana guru berani mendidik melalui berbagai metode yang dirasa lebih efektif.

Urgensi Perlindungan Profesi Guru

Berangkat dari lemahnya posisi tawar guru tersebut, perlu kiranya upaya untuk menempatkan guru sesuai dengan kodrat semestinya. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah perlindungan terhadap profesi guru.

Perlindungan profesi ini mengisyaratkan bahwa guru mempunyai perlindungan hukum dam melaksanakan tugasnya sebagai guru. Sehingga orang tidak mudah menuntut bahkan memejahijaukan guru dalam kasus yang berkenaan dengan pelaksanaan tugas guru tersebut.

Meskipun perlindungan ini tidak bersifat mutlak, namun ada batas-batas hukum tertentu yang berkaitan dengan perlindungan profesi, misalnya kriminalitas, korupsi, dan sebagainya.

Perlindungan profesi ini juga harus diimbangi dengan implementasi kewajiban guru secara maksimal. Artinya, ada konsekuensi tertentu ketiga guru tidak bisa melaksanakan kewajibannya secara optimal. Sehingga ada keseimbangan antara hak dan kewajiban guru dalam rangka mewujudkan pembelajaran yang efektif.

Mengembalikan wibawa guru menjadi sosok ideal bagi siswa adalah salah satu upaya menjadikan pendidikan kita lebih produktif. Sebagai penutup kiranya hadis ini dapat menjadi renungan kita bersama,

"Laisa minna man lam yarham shoghirana walam yuwaqqir kabirana", tidak termasuk umatku (Muhamad SAW) orang yang tidak cinta kepada yang lebih muda, dan orang yang tidak menghormati yang lebih tua. Pendidikan akan lebih produktif bila yang lebih tua (guru) bisa menyayangi yang lebih muda (murid), sebaliknya yang lebih muda juga harus menghormati yang lebih tua.

0 komentar:

Posting Komentar